Minggu, 07 Maret 2010

Socrates :"Tentang Hakikat Cinta dan Hakikat Perkawinan"

1 komentar

Pada suatu saat, Socrates mengajak beberapa muridnya berjalan-jalan setelah mereka belajar mengenai filsafat, mereka adalah Aristodemus, Apolloderus, Aghaton dan Plato. Dalam perjalanan pagi itu, para murid bertanya tentang hakikat yang paling hakiki dalam kelangsungan hidup manusia, yaitu beranak pinak. Setelah dijelaskan secara rinci dan transparan oleh sang filsuf, maka Plato salah seorang murid kesayangan Socrates memberanikan diri untuk bertanya, “Apa hakikatnya Cinta itu..!”

Sang Filsuf terdiam sejenak dan merenung serta berujar pada Plato :” Mengapakah kamu perlu menanyakan hal tersebut ? Sang murid menjawab "Wahai guru yang bijak, aku saat ini sedang mengalami perasaan tentang apa yang disebut orang, jatuh cinta”.

Sang bijak-pun menjawab pertanyaan Plato...... Experto dico (aku berbicara sebagai orang yang berpengalaman) :” Pergi sekarang juga tanpa kompromi ke dalam hutan di depan sana, dan carilah bagiku sebatang pohon apapun yang menurutmu paling indah, paling sehat dan yang paling berkenan dalam penglihatanmu, potonglah dan bawa kepadaku”.!!!

Plato-pun menjalankan perintah sang guru dengan takzim dan berjalanlah dia menjelajahi hutan tersebut, memang di dalam hutan tersebut dia melihat dan menemukan bermacam-macam pohon yang indah-indah, pada saat mata Plato melihat sebatang pohon yang terlihat indah, hatinya mengatakan bahwa hutan itu begitu luas dan masih banyak pohon yang lebih indah di dalam sana, demikian terjadi berulang kali dan tanpa terasa, senjapun merayap turun, dengan langit yang berwarna lembayung, Plato bergegas kembali pulang tanpa membawa pohon yang diinginkan oleh sang fisuf.

Melihat Plato sudah kembali, Socrates pun bertanya :” Muridku…..manakah pohon yang kupesankan kepadamu itu?”Plato pun menjawab kepada Socrates :” Wahai guruku….aku memang telah berjalan sepanjang hari di dalam hutan tersebut, dan memang telah aku lihat bermacam-macam pohon yang indah, kuat dan sehat, tetapi guruku…setiap kali aku akan memotong pohon tersebut, aku ragu-ragu, dan hati kecilku berkata, hutan masih luas dan di dalam sana masih banyak pohon yang lebih indah, oleh sebab itu aku tidak memotongnya. Tanpa terasa ya sang bijak……senja pun turun dan aku bergegas pulang sebelum temaram senja menjadi gelap……. Maafkan aku wahai guruku karena aku tidak membawakan bagimu pohon yang guru inginkan.”

Socrates pun tersenyum dan mengatakan pada Plato:” Muridku…kau sebenarnya telah melakukan tanpa kau sadari tentang Hakikat Cinta, yaitu manakala engkau belum puas dan menemukannya, maka kau akan terus mencari dan mencari, melihat sesuatu dan membandingkannya dengan yang lain, sehingga kehampaan yang kau dapatkan."

Keesokan paginya, bertanya pulalah Plato kepada Socrates…guru sekarang aku sudah memahami hakikat cinta, tetapi apakah perbedaannya dengan hakikat perkawinan?

Mendengar ucapan muridnya tersebut, Socrates tersenyum sambil menggosok janggutnya dan berkata pergilah kembali ke dalam hutan itu dan lakukanlah seperti yang kuperintahkan kemarin.

Sebagai murid yang baik, Plato pun menjalankan tugas yang diperintahkan oleh sang guru. Kurang lebih sebelum pukul 12 siang, Plato pun sudah kembali dengan membawa sebatang pohon Zaitun yang elok dan segar yang dipersembahkan kepada sang guru, dan bertanyalah Socrates kepadanya : “Muridku…apakah ini adalah pohon yang terbaik yang kau temui di hutan sana..? Plato pun menjawab :” Guru…inilah pohon yang baik dan segar yang kudapatkan, walaupun aku tahu pohon ini bukanlah pohon yang terbaik di dalam hutan sana, tetapi aku memilih pohon ini karena aku tidak mau terulang lagi seperti kemarin, yaitu pulang dengan tangan hampa.

Sambil mengusap janggutnya sembari tersenyum, Socrates menjelaskan pada Plato:” Itulah “Hakikat Perkawinan”, di mana engkau berani memutuskan memilih yang baik menurut pandanganmu dan walaupun engkau tahu bahwa itu bukanlah yang terbaik, di sinilah engkau menentukan sikap dalam memilih, di mana perkawinan adalah pengambilan keputusan yang berani, penyatuan dua hati, penyatuan dua karakter yang berbeda di mana dua insan ini harus dan berani berbagi serta menyatukan dua pandangan menjadi satu dalam menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya.

So…….Wikimuers demikianlah Hakikat Cinta dan Hakikat Perkawinan itu, di mana cinta semakin dikejar semakin jauh, tidak dicari…eeehhh dianya nongol dengan sendirinya. Dan Perkawinan…..inilah tempat untuk belajar berbagi, mengerti dan saling melayani dalam membina mahligai rumah tangga.

Dum vita est, spes est! ( ketika masih ada kehidupan, di situ pula masih ada pengharapan)

Hakikat Cinta Dan Benci

0 komentar

Cinta (al-mahabbah) dan benci (al-karâhah), merupakan fitrah emosional yang dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang Muslim, cinta dan benci itu harus berdasarkan proporsionalisasi syarî’at. Karena, bisa jadi, apa yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu yang sebetulnya baik buat kita (Qs.2:216). Jika tidak demikian, betapa banyak orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan benci ini.

Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" (Qs.3:31-32).

Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada mereka (Qs.5:8).

Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim. Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW. bersabda, "Hakikat seorang Muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri" (HR. Imâm Bukhârî).

Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan (al-Hadits).

Ekspresi sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasad adalah iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari sini hasud berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu.

Benci yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW, sabdanya, "Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu bakar" (HR. Abû Dâwûd).

Wajah seorang muhâsid (pelaku hasud) tak lain seorang provokator yang senang mengadu-domba antarsesama, menabur fitnah, serta wujud dari kerja sama dalam menebar dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwân). Mereka diancam Nabi SAW. tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang antarsesama manusia (HR. Bukhârî-Muslim).

Dalam konteks Islam, shilat-u ar-rahmi (shilah, menghubungkan; dan rahmi, berasal dari rahim yang sama) merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan keharmonisan hidup antarinsan. Inilah inti rahmat-an lil-‘âlamîn; mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, sebaliknya, jika sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan azab-Nya. Dalam arti, tidak turunnya rahmat dan bertaburnya benih-benih perpecahan dan perselisihan (Bulûghu ‘l-Marâm, 2000; 496).*

Agar kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah mengajarkan, "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah Tahajjud pada sepertiga malam (introspeksi), niscaya kamu akan masuk surga dengan damai" (HR. Imâm Tirmidzî).

Demikian sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan kepada siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila, orang lain selamat dari ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya (Fath-u al-Bârî I; 76-86). Wallâhu a’lam.