Jumat, 05 Maret 2010

Benarkah Kita Mencintai Rasulullah SAW ??

0 komentar

Sambutan Maulidur Rasul yang baru saja di sambut oleh umat Islam seluruh dunia menjadi salah satu hari kebesaran Islam yang disambut meriah di Seluruh Dunia . Walaupun Nabi Muhammad SAW telah lama meninggalkan kita sejak 1,430 yang lalu, tetapi dengan cinta kasih kita kepada baginda serta sunnah baginda, maka kita merasakan seolah-olah baginda masih hidup berada bersama kita.


Nabi Muhammad adalah satu-satunya Rasul yang telah menyelesaikan tugas dan menyempurnakan amanah pekerjaan sewaktu hayat baginda. Baginda telah membawa kepada kita risalah Allah dengan berbagai cara diantaranya :

Pertama : Menyampaikan perintah dan panduan Allah SWT melalui wahyu Qur’ani.

Kedua : Menghidupkan wahyu-wahyu Allah dengan sempurna melalui perbuatan, perkataan dan pengakuannya atau apa yang dinamakan sebagai sunnah nabawiyah.


Kemuliaan akhlak Rasulullah SAW sebagaimana yang dicerminkan di dalam al-Quran, wajib di ambil tauladan secara mutlak dan di taati oleh manusia sepanjang kehidupan ini. Firman Allah SWT di dalam Surah at-Taghaabun, ayat 12 yang bermaksud :

“Dan taatlah kamu kepada Allah serta taatlah kepada
Rasulullah; maka kalau kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajipan Rasul Kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas nyata”.


Berdasarkan ayat diatas, Allah SWT menegaskan bahwa perintah mentaati Rasulullah SAW adalah berarti mentaati Allah SWT , dan mengingkari baginda berarti juga mengingkari Allah SWT.

Bukti penegasan ‘taat kepada Rasulullah’ ini terdapat di dalam kalimat syahadah. Kalimat ini mensyaratkan bahwa seseorang tidak boleh menganut Islam jika hanya mengaku beriman kepada Allah SWT tanpa mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW. Ini menggambarkan satu istinbat mutlak bahwa makna mencintai Rasulullah SAW adalah dengan mentaati keseluruhan ajaran baginda. Pada masa sama ia membawa kita mencintai Allah SWT. Oleh itu, beriman kepada para Rasul Allah adalah wajib dan menjadi tiang kekuatan akidah Islam. Sesiapa yang mengingkari perintah Rasul berarti dia keluar dari lingkaran keimanan.

Selaras dengan ikrar yang kita lafazkan dalam syahadah, maka menjadi tanggung jawab umat Islam sekalian bahwa semua ajaran al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW hendaklah dipatuhi dan diamalkan. Jika kita mengabaikan pelaksanaan perintah-perintah Allah dan suruhan Rasul-Nya, maka Allah akan jauh daripada kita. Ini berarti iman kita mulai lemah dan kelemahan iman ini memberi ruang kepada musuh Allah dan syaitan mendekati bahkan mempengaruhi kita dalam membuat keputusan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan ada di kalangan umat Islam yang mengaku beriman dengan Allah dan RasulNya, tetapi pada masa sama telah mentafsir Islam mengikut hawa nafsu. Mereka sanggup melakukan tindak-tanduk mengikut kemauan sendiri dan akhirnya perbuatan tersebut kelihatan janggal,di hadapan khalayak ramai. Besarnya pengaruh nafsu dan peranan syaitan dalam kehidupan ini terbukti apabila mereka tanpa segan selalu mengutamakan kepentingan diri, mengutamakan kebendaan walaupun nyata berbanding dengan al-Quran dan sunnah.

Persoalan besar timbul ialah bagaimana bentuk dan pengukuran bahwa kita tergolong orang Islam yang benar-benar mencintai Rasulullah SAW? Banyak orang mengakui cinta kepada Rasulullah tetapi tidak tahu bentuk dan hakikatnya. Cinta yang jujur akan menggerakkan seluruh perasaan dan kelakuan manusia untuk membuat sesuatu sebagai cermin kehidupannya yang selari dengan ajaran Islam.

Para sahabat dalam membuktikan kecintaan mereka kepada Rasulullah dan sunnahnya telah sanggup berkorban nyawa, rela kehilangan harta kekayaan, anak-anak, ibu bapak dan status diri, demi mempertahankan perjuangan suci bersama Rasulullah. Nama-nama besar seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar al-Khattab, Sayyidina Ustman, Sayyidina Ali dan masih banyak lagi para syuhada’ dan golongan solihin baik lelaki dan wanita telah membuktikan kasih sayang yang amat sangat kepada Rasulullah SAW.


Setiap tahun umat Islam menyambut Maulidur Rasul dalam berbagai bentuk. Kadangkala sambutan yang dibuat itu mendapat kritikan hebat kerana kualiti keberhasilan natijahnya yaitu sejauh mana sambutan ini dapat menjaga peningkatan dalam penghayatan dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran yang di bawa oleh Rasulullah SAW. Program Maulidur Rasul ini pada dasarnya adalah sebagian daripada aktiviti dakwah. Ia bertujuan untuk mentarbiyah, membimbing dan memperingatkan umat Islam agar menghargai apa yang dikurniakan oleh Allah SWT. Salah satu pengajaran itu ialah memperingati perjuangan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pesuruh Allah yang paling berjaya menegakkan ajaran Allah, Rasul terakhir, tokoh teragung sepanjang abad di dunia dan akhirat kerana membawa perubahan besar kepada lanskap akidah seluruh hidup manusia di dunia. Malah hingga ke hari ini peribadi suci Rasulullah SAW masih dikagumi musuh-musuh Islam, seolah-olah baginda masih hidup walaupun seribu tahun lebih telah meninggalkan kita.

Dengan demikian sambutan Maulidur Rasul yang diberi liputan meluas dalam media cetak dan media elektronik memberi peluang kepada rakyat berbagai agama di seluruh dunia memperingati seorang insan terpilih, memahami gaya kepimpinan, memahami akhlaknya dan memahami dasar politik, ekonomi dan sosial untuk kita teruskan dan hayati. Hakikatnya sambutan Maulidur Rasul adalah suatu peringatan, suatu tazkirah yang bertepatan dengan firman Allah SWT dalam Surah adz-Dzaariyat, ayat 55 yang artinya :

“Dan tetap tekunlah engkau memberi peringatan, karana sesungguhnya peringatan itu mendatangkan faedah kepada orang yang beriman.”


Sirah baginda SAW ini hendaklah diulang dan dikaji , dirujuk dan disuburkan setiap masa, supaya kekal dalam ingatan dan jiwa manusia. Sambutan yang diadakan bukan sekadar untuk bermain-main, bersenda gurau, atau mengisi masa kosong, tetapi lebih kepada mencapai suatu tugas yang perlu kita laksanakan, berbentuk amanah yang perlu kita tunaikan.

Bagaimana pun mimbar sangat kesal jika sambutan yang diadakan setiap tahun ini, tidak di hayati sepenuhnya dengan pengisian yang tepat oleh umat Islam. Bahkan lebih menyedihkan lagi ialah pada satu masa kita mengagungkan Rasulullah SAW dan pada masa yang lain pula kita bersifat dua muka, bertukar rupa dengan melakukan perkara yang dilarang oleh Rasulullah.

Firman Allah SWT dalam Surah Ali Imran, ayat 31 yang artinya :

“Katakanlah: Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”

Imam at-Tirmidzi pula meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mughaffal r.a. berkata:

“Seseorang telah datang menemui Nabi SAW dan berkata: “Demi Allah, saya sangat kasih kepada-Mu, Ya Rasulullah”. Jawab Nabi SAW: “Perhatikan benar-benar perkataanmu itu”. Orang itu berkata: “Demi Allah, saya cinta kepadamu, Ya Rasulullah (di ulangi sampai tiga kali)”. Maka Nabi SAW bersabda: “Jika benar kamu cinta-kasih kepadaku, maka bersiap-sedialah menghadapi kemiskinan-kesusahan, persiapkan dirimu dengan baju (benteng iman) yang kukuh (agar dapat menghadapi segala kemungkinan susah payah), kerana kemiskinan-susahpayah itu lebih cepat datangnya kepada orang yang cinta-kasih kepadaku melebihi kecepatan (air) banjir ke dalam jurang (lembah yang dalam).

Terakhir , bimbinglah keluarga kita dalam mempertingkatkan kasih sayang dan mencintai Rasulullah SAW supaya generasi Islam terus subur berpegang akidah dan berpegang kuat kepada ajaran Islam. Bagi menentukan sambutan Maulidur Rasul memberi keberhasilan yang tinggi kepada negara dan rakyat, maka terdapat 5 landasan untuk menentukan kejayaannya yaitu:

Allah S.W.T. berfirman:

“Dan hari Kami bangkitkan di kalangan setiap umat, seorang saksi ke atas mereka, dari mereka sendiri, dan Kami datangkanmu untuk menjadi saksi terhadap mereka ini, dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an menjelaskan tiap-tiap sesuatu dan menjadi petunjuk, serta membawa rahmat dan berita yang menggembirakan bagi orang Islam.”(Surah an-Nahl:89)

Memelihara Diri (Maqam Ri'ayah)

0 komentar

Barangsiapa yang menjaga hatinya dari kelalaian dalam berdzikir, melindungi dirinya dari jerat syahwat, serta menjaga akalnya dari penyimpangan, dia akan dikelompokkan kedalam golongan mereka yang hidup hatinya. Kemudian bagi mereka yang menjaga diri dari memanfaatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi, yang memelihara keimanannya dari bid’ah-bid’ah yang merusak, serta memelihara hartanya dari sesuatu yang haram, maka dirinya akan dikelompokkan kedalam golongan orang-orang yang shaleh.

Rasulullah (semoga kedamaian tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap laki-laki dan perempuan yang beriman.” Ketahuilah bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadits itu yang paling utama adalah ma’rifat an nafs (ilmu pengetahuan tentang hakikat diri manusia), ilmu yang membawa manusia agar dapat bersyukur kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu sangatlah penting bagi semua manusia, agar dalam setiap kondisi hidupnya senantiasa memanjatkan puji syukur ke Hadhirat Ilahi dan memohon ampunan dari kelalaiannya dalam bersyukur.

Dan ketahuilah jika Allah menerima syukur seorang hamba maka itu berarti Dia berkenan melimpahkan karunia-Nya kepada sang hamba. Namun jika syukur seorang hamba ditolak, maka hal itu berarti Allah berkehendak untuk menampakkan sifat Maha Adil (agar sang hamba berusaha lebih keras lagi untuk dapat bersyukur). Setiap orang harus menyadari pentingnya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah dan mengungkapkan rasa syukur, serta bersungguh-sungguh dalam menjaga diri dari melakukan dosa, serta menjauhi penyebab-penyebab kemaksiatan.

Untuk mencapai kondisi seperti itu, dasarnya adalah engkau harus menyadari kemudian mengungkapkan kebutuhan serta kebergantunganmu secara total kepada Allah Ta’ala, bahwa engkau membutuhkan perhatian Allah, dan bahwa ketaatan kepada Allah adalah kebutuhanmu.
Dan kunci dari semuanya itu adalah pemasrahan dirimu kepada Allah, menghapuskan angan-angan dan khayalanmu dengan banyak mengingat kematian, serta menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap saat sesungguhnya engkau sedang berdiri dihadapan Yang Maha Perkasa. Dengan melakukan hal ini engkau akan terbebaskan dari jerat-jerat syahwatmu, engkau akan terselamatkan dari musuh-musuhmu, dan jiwamu akan dianugerahi kedamaian. Hakikat dari ketulusan dalam beribadah adalah suatu harmoni yang selaras (antara hati, ucapan, dan perilaku), dan tangga menuju kemerdekaan spiritual adalah engkau mensikapi hidupmu seakan-akan ini adalah hari terakhir yang engkau jalani.

Rasulullah (semoga kedamaian tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah sesaat. Maka jalanilah hidupmu dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Gerbang kepada kebebasan spiritual ini adalah senantiasa berkhalwat menjauhkan diri dari keduniawian, serta bertafakur secara terus-menerus melakukan perenungan mengenai kesementaraan dunia ini. Adapun inti dari khalwat adalah merasa cukup dengan apa yang telah engkau terima, dan meninggalkan hal-hal yang tidak memiliki manfaat bagi jiwamu. Sedangkan hakikat dari tafakur adalah mengosongkan diri dari hasrat dan keinginan rendahmu, yang merupakan tiang dari kezuhudan. Sempurnanya zuhud adalah ketaqwaan, dan gerbang dari ketaqwaan adalah rasa takut kepada Allah, yang dibuktikan dengan banyak mengagungkan Allah Ta’ala, istiqamah menaati-Nya dengan tulus, serta merasa takut dan waspada agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang.

Ketahuilah semua maqam spiritual ini hanya dapat dilalui jika dirimu dibimbing oleh ilmu (memiliki seorang pembimbing spiritual), Allah Yang Maha Besar Berfirman,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang berilmu.”
(Qur’an surah Fathir ayat 28)

Tundukkan Pandanganmu

0 komentar

Disarikan dari kitab "Shahifah as Shadiqiyyah"
Imam Ja'far as Shadiq




Ketahuilah, tidak ada rangkaian berkah dan manfaat yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan rangkaian berkah dan manfaat yang akan tercurah kepada hamba yang menundukkan pandangannya. Hal ini terjadi jika sang hamba memelihara agar pandangannya tidak tertuju kepada sesuatu yang diharamkan serta tidak disukai Allah, kecuali jika tajalli keagungan dan keindahan telah bersemayam dihati hamba. (Maksud Imam adalah jika seorang hamba yang hatinya telah dirahmati oleh Allah, maka meskipun pandangannya tertuju kepada hal-hal yang tidak baik niscaya hal itu tidak akan mempengaruhi kondisi batin sang hamba. Atau hamba itu melihat sesuatu yang haram dengan tujuan untuk memperbaikinya. Misalnya saja jika seorang hamba melihat perempuan yang membuka auratnya, namun hamba itu tidak tergoda malahan memberikan nasihat kepada si perempuan itu yang dengan rahmat Allah perempuan itu akan menjadi sadar)

Pemimpin kaum beriman, Imam Ali bin Abi Thalib (Semoga kedamaian tercurah kepadanya) pernah ditanya apakah hal yang dapat membantu kita memelihara pandangan, kemudian beliau berkata “Memohon bantuan sambil menghinakan diri ke haribaan Dia Yang mengetahui segala rahasiamu yang baik maupun yang buruk, serta senantiasa mengawasimu.” Ketahuilah, sesungguhnya mata adalah pengawas hati dan utusan akal, oleh karena itu peliharalah pandanganmu dari segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keimananmu, segala sesuatu yang tidak disukai hatimu karena dapat merusaknya (hati), serta hal yang ditolak oleh akal karena dapat mengganggu.

Sang Nabi suci (Semoga kedamaian tercurah atasnya dan kepada keluarganya) bersabda, “Tundukkan (pelihara) pandanganmu, niscaya engkau akan menyaksikan keajaiban-keajaiban spiritual.”
Allah Ta’ala Berfirman :

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.”
(Qur’an surah an Nur ayat 30)

Nabiyullah 'Isa (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata kepada para pengikutnya, “Berhati-hatilah kalian dari memandang hal-hal yang dilarang, karena hal itu adalah benih-benih syahwat dan dapat menumbuhkan pohon kefasikan.”

Nabiyullah Yahya (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Lebih baik aku mati daripada terlena dalam menyaksikan hal-hal yang buruk.”


Sahabat Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang yang matanya terbelalak ketika menjenguk seorang perempuan yang sedang sakit, “Lebih baik engkau kehilangan matamu daripada melihat seorang perempuan sakit dengan penuh syahwat.”

Setiap kali seseorang memandang hal-hal yang dilarang, maka pada saat itu hasrat buruk terikat dihati dan mengotorinya. Ikatan itu hanya bisa diputuskan oleh dua sebab, yang pertama adalah tangis penyesalan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh, atau yang kedua adalah menyadari kesalahan perbuatannya dan menebusnya dengan amal baik. Dan jika orang itu tidak sungguh-sungguh menyadari dan menebus perbuatan buruknya, maka tempat kembalinya adalah neraka. Sedangkan bagi mereka yang bertaubat dengan sungguh-sungguh maka balasannya adalah dimasukkan kedalam taman kebahagiaan, di tempat yang diridhai oleh Allah SWT.

Hakikat ILmu

0 komentar

lmu adalah landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan.

Imam Ali (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Carilah ilmu meskipun engkau harus pergi ke negeri Cina.” Dan ilmu yang dimaksud oleh Imam Ali (semoga kedamaian tercurah atasnya) adalah ilmu spiritual atau ma’rifat tentang jiwa manusia, yang didalamnya tersimpan hakikat pengetahuan tentang Tuhan. Sang Nabi suci, Muhammad (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenali Tuhannya.”

Namun meskipun begitu, kalian semua harus tahu bahwa sekedar memperoleh pengetahuan saja tanpa ada pengamalan tidaklah dibenarkan, disamping itu diperlukan keikhlasan dalam mengamalkan ilmu. Sang Nabi suci, Muhammad (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) dalam munajatnya bersabda, “Yaa Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” Kita semua berlindung dari ilmu yang tidak disertai pengamalan serta dari amal yang tidak disertai keikhlasan.

Ketahuilah wahai murid-murid yang aku kasihi, ilmu yang sedikit akan menuntut pengamalan yang banyak, karena ilmu ukhrawi (spiritual) menuntut seseorang untuk beramal sepanjang hidupnya. Nabiyullah Isa (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Pada sebuah batu aku lihat ada tulisan yang berbunyi “Balikkanlah aku” maka aku membalikkan batu itu. Dibalik batu tersebut tertulis “Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya dia akan menyesal, dan ilmu itu akan berbalik menuntutnya.”

Allah SWT Berfirman kepada Nabi Daud (semoga kedamaian tercurah atasnya), “Balasan yang Aku timpakan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih berat daripada tujuh puluh siksaan batin, yakni Aku akan mencabut kenikmatan berdzikir dari hatinya.” Ketahuilah, tidak ada jalan menuju Allah kecuali dengan ilmu, dan ilmu adalah perhiasan manusia di alam dunia ini serta kendaraan yang akan membawanya ke surga, kemudian jika seorang manusia memperoleh hakikat ilmu maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keridhaan-Nya kepada orang itu.

Orang yang mengetahui hakikat ilmu adalah dia yang amal shalehnya, kesucian munajatnya, kejujurannya, serta ketaqwaannya yang berbicara. Bukan orang yang hanya berbicara melalui mulutnya, pandai berdebat, pintar berdiskusi, atau orang yang mengeluarkan pengakuan-pengakuan. Sebelum masa sekarang ini, para penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya, orang-orang yang shaleh, bijaksana, rendah hati, dan senantiasa waspada. Namun yang kita saksikan pada masa sekarang ini, para penuntut ilmu tidaklah memiliki karakter-karakter tersebut.

Orang yang berilmu membutuhkan kecerdasan, keramahan, kesetiaan, kefasihan, kasih sayang, kesabaran, kesederhanaan, serta totalitas. Sementara itu orang yang belajar membutuhkan hasrat yang tulus terhadap ilmu, cita-cita yang luhur, pengorbanan (waktu, biaya dan energi) keshalehan, kewaspadaan, daya ingat, dan keteguhan hati.
(Diambil dari kitab "Shahifah as Shadiqiyyah" Imam Ja'far as Shadiq)