Kamis, 04 Maret 2010

Pasrah Bukan Berarti Menyerah

0 komentar
Amir dan Budi sedang berenang di pinggir pantai, Amir adalah
seorang juara renang, kemampuan menyelamnya pun patut diacungi jempol. Sedangkan Budi, ia hanya bisa berenang dengan gaya asalan, yang penting bisa mengambang dan tidak tenggelam. Semakin asik mereka berenang, tanpa mereka sadari sudah berada jauh dari pantai. Sambil mengambang, dengan mimik gelisah, Budi mengajak Amir balik ke pantai. Melihat ketakutan sahabatnya, Amir yang jagoan renang malah menertawakannya. Tetapi tiba-tiba cuaca berubah, langit mendung dan berawan, angin mulai berhembus kencang, dan gelombang mulai menjadi ombak. Tubuh mereka mulai dihantam gelombang pasang, dan arus mulai menyeret menuju ke
tengah lautan. Spontan mereka berdua mulai panik dan berusaha berenang ke arah pantai.



Berdua mereka berenang menembus gelombang dan badai. Tapi apa yang terjadi? Mereka hanya berenang di tempat! Arus gelombang membuat mereka tidak bisa melaju. "Ah kiranya ajalku sudah tiba... Oh Tuhan, berilah hamba kekuatan...", doa Budi dalam ketakutan, karena dirinya sudah tidak kuat lagi bertahan. Dilihatnya Amir di depan terus berenang dengan semangat dan tanpa berhenti. "Aku seorang juara renang, tak mungkin kalah dengan sedikit gelombang! Akan ku kalahkan, pasti aku akan sampai di pantai!", pikir Amir sambil terus berenang. Akhirnya, dengan badan yang sudah lelah, Budi hanya berusaha mengambang dan pasrah mengikuti arus dan gelombang. Perlahan, tubuh Amir sahabatnya hilang dari pandangan... "Selamat tinggal sahabatku, selamat tinggal semuanya, mungkin kini tiba ajalku...", pikir budi dalam kepasrahan. Beberapa waktu kemudian, ternyata cuaca mulai menjadi cerah, badai dan gelombang pun reda. Melihat hal ini, Budi yang masih mengambang mengikuti gelombang, mulai bersemangat kembali, "Ha...ombak menghilang, dan disana, bisa kulihat pantai, aku harus berenang sekarang!". Dan Budi dengan perlahan berenang di air yang tenang, dan mencapai pantai dengan selamat.

Begitu tiba di pantai, ia berseru memanggil sahabatnya Amir, tapi Amir tak tampak. Ia kemudian bertanya pada beberapa pengunjung dan nelayan yang ada disana, tapi mereka pun tidak merasa melihat sahabatnya. Ia mulai panik, kemana Amir pergi, atau jangan-jangan...... "Ah... tidak mungkin, Amir juara renang, ia pasti akan selamat sampai di pantai", pikir Budi dalam hati. Tiba-tiba, di kejauhan, ia mendengar orang-orang berteriak. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menuju kerumunan orang. Dan ketika ia tiba... ia melihat sahabatnya sudah terlentang, terbujur kaku, tanpa napas... Budi menangis, tak mampu berucap, dipandangnya semua orang, dan dari kerumuan seorang Bapak berkata, "Ketika ditemukan, ia sudah tidak bernyawa, terseret ombak, mungkin ia terus berenang menembus gelombang, menentang kekuatan alam......"

Demikian juga dengan gelombang dan badai kehidupan, kapan ia datang, tak bisa diramal pasti. Semua orang tanpa kecuali pasti menghadapi, tak mungkin bisa dihindari. Haruslah cermat untuk berhitung, kekuatan badai yang kita lawan, bila ia terlalu kuat untuk diterjang, tenangkan hati, jangan terlalu memaksakan diri, karena bila terus dilawan, badan akan lelah dan frustasi muncul dipikiran. Ada kalanya, sehebat apaun seseorang, ia harus pasrah sejenak, membiarkan dirinya mengikuti arus gelombang.

Hal ini bukanlah kekalahan, tapi inilah saatnya kita bertahan. Pada saatnya nanti, ketika gelombang dan badai mulai mereda dan keadaan menjadi tenang, pasti muncul peluang dan kesempatan. Saat itu, jangan sia-siakan, jangan terlena, segera lanjutkan perjalanan.

Makna Do'a

0 komentar

Seorang murid duduk berdoa siang dan malam, berhenti sejenak hanya untuk makan dan beristirahat, lalu dilanjutkan lagi dengan berdoa. Semua sahabat yang melihatnya merasa kagum dan memuji dirinya.

Sang guru yang mendengar hal ini mendatangi muridnya dan bertanya mengapa si murid berdoa terus tanpa henti. "Saya berdoa terus untuk mencapai surga!" jawab si murid mantap. Sang guru yang mendengar jawaban ini hanya menggangguk-anggukan kepala, dan pergi berlalu. Beberapa saat kemudian sang guru datang kembali dengan membawa sebuah genteng atap dan selembar kertas amplas.

Sang guru kemudian duduk disebelah guru yang sedang berdoa dan mulai menggosok genteng yang dibawanya dengan amplas. Si murid heran melihat tingkah laku gurunya, lalu bertanya mengapa sang guru mengamplas genteng. Sang guru menjawab dengan tenang, "Saya sedang menggosok genteng sampai menjadi kaca!". Si murid bertanya sambil tertawa, "bagaimana mungkin genteng digosok bisa menjadi kaca?". Sang guru tersenyum balas menjawab, "kalau hanya dengan berdoa bisa masuk ke surga, tentu genteng juga bisa menjadi kaca..."

Tidak salah kita berdoa, karena berdoa bisa menenangkan jiwa. Tapi doa akan menjadi kehilangan makna ketika doa hanya dijadikan satu-satunya sarana untuk menggapai surga. Doa tidak perlu dibanggakan, karena doa adalah rahasia dengan Sang Pencipta. Doa menjadi nyata ketika ia selaras dengan pikiran dan tindakan. Hindari segala kejahatan, praktekkan kebenaran dan kebajikan, kembangkan cinta dan kasih, sucikan hati dan pikiran, maka semua doa yang pernah diucapkan akan menjadi nyata.

Kebodohan

0 komentar


Seorang laki-laki duduk di warung sambil merokok dan meneguk minuman keras, rambutnya sudah memutih, dan keriput mulai terlihat diwajahnya. Seorang tamu yang datang penasaran melihatnya dan bertanya.

Tamu : "Kakek, saya lihat badan kakek masih sehat, pasti kakek cuma sesekali minum
minuman keras disini... ya?"

Laki-laki : "Ah...gak juga, hampir setiap hari, merokok juga kencang..."

Tamu : "Pasti kakek jarang begadang, berolahraga setiap hari ya..?"

Laki-laki : "Gak sih... Tiap malam saya begadang dan jarang pulang. Kalau olahraga...gak pernah tuh !"

Tamu : "Wah..! hebat benar kakek, memangnya umur kakek berapa ?"

Laki-laki : "Umur saya... dua puluh enam...!"

Sering orang berpikir, "Ahh..hidup hanya sekali, hanya sebentar, selagi muda, selagi bisa, harus dinikmati, harus dibawa happy...!". Mereka menghabiskan waktu, biaya dan tenaga dengan kesia-siaan, semua dihambur-hamburkan tanpa ada hasil dan manfaat. Apa yang didapat ? Kenikmatan semu dan sesaat. Tetapi efek negatifnya akan muncul satu persatu, mulai dari rusaknya kesehatan, keluarga yang berantakan, mundurnya kemakmuran, dan menurunnya kesadaran.



Berjuta alasan mereka kemukaan, karena pengaruh lingkungan, pergaulan, teman, mencari pelarian, dan lain sebagainya. Tetapi alasan utamanya karena kebodohan ! Karena tidak mampu mengontrol pikiran. Tidak ada lagi kecerdasan, tidak ada lagi kejernihan, yang ada tinggal kebodohan. Lawanlah setiap godaan dengan kesadaran, bila tidak, yang tertinggal hanyalah penyesalan

Tabaruk dan adab hormat kepada Ulama dan Auliya

0 komentar

A'uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahiim

Walhamdulillah wassholatu wassalamu 'ala Rasulillah wa 'ala aalihi wasahbihi wa man tabi'ahum bi-ihsanin ilaa yaumiddin

PENGENALAN

Dewasa ini, di kalangan ummat Islam urban, khususnya yang tidak dibesarkan dalam tradisi ulama-santri, penghormatan terhadap persona ulama' atau Awliya' Allah semakin berkurang.

Islam dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya hanya dipandang sebagai sesuatu yang tekstual yang dapat dipelajari dengan cara membaca begitu saja di buku-buku ataupun sumber-sumber online. Padahal sejak 1400 tahun yang lampau, tradisi keilmuan Islam amat mementingkan interaksi langsung antara sang guru, sang ulama dengan murid-muridnya. Dalam interaksi inilah, tersampaikan tidak hanya apa-apa yang tersurat, melainkan juga yang tersirat.

Diriwayatkan bagaimana Imam Malik rahimahullah ketika meriwayatkan suatu hadits Nabi sall-Allahu 'alayhi wa alihi wasallam pada murid-muridnya, begitu berhati-hati beliau, dan tak jarang hingga menangis, karena kerinduan mendalam pada persona Nabi sallAllahu 'alaihi wa alihi wasallam yang beliau sampaikan perkataan atau perbuatannya. Jelas adab beliau seperti ini jarang turut termaktub dalam kitab-kitab beliau, kecuali kalau kita berguru pada mereka-mereka yang memang memiliki jalur keilmuan hingga beliau, yang mewarisi tidak hanya ilmu beliau, tetapi juga adab beliau.

Keterasingan ummat Islam saat ini akan adab-adab seperti ini, salah satunya adalah karena derasnya arus reformasi menyesatkan dari salah satu aliran Islam yang muncul beberapa ratus tahun lalu di Najd [daerah timur semenanjung Arabia]. Aliran Islam ini, akhir-akhir ini dengan berbagai bentuknya, dengan dukungan pendanaan dan organisasi yang hebat semakin deras mencuci otak sekalangan ummat Islam hatta mereka yang tadinya dibesarkan dalam tradisi Ahlussunnah al Jama'ah.

Akibatnya, tradisi luhur Ahlussunnah wal Jama'ah berupa adab penghormatan terhadap Awliya' dan Ulama' serta barang maupun anggota badan mereka, yaitu praktik "Tabarruk", dianggap sebagai suatu perbuatan syirik oleh mereka, suatu dosa besar yang tak diampuni.

Benarkah tuduhan mereka seperti itu? Apa sebenarnya hakikat syirik, dan apa pula hakikat ber-adab serta bertabarruk? Samakah antara keduanya sehingga mereka yang menjalankan praktek tabarruk serta merta dapat dihukumi syirik? Jadi, apakah syirik itu? Sebagai muslim dan mukmin, insya Allah, kita telah memahami, bahwa salah satu makna kalimat tauhid, Laa ilaha IllaLlah, adalah "laa ma'buuda illaLlah", tidak ada yang patut disembah kecuali Allah. Juga tidak ada yang patut dijadikan tujuan kecuali Allah ["Laa Maqshuuda illaLlah"]. Sedangkan syirik, sebagai kebalikan dari Tauhid, adalah menjadikan sesuatu selain Allah, yaitu makhluk ciptaan Allah, sebagai sesuatu yang disembah pula di sisi Allah. Na'udzu billah min dzalik. Subhanallah. Maha Suci Allah yang tidak memerlukan seorang penolongpun di sisi-Nya, dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.Berangkat dari makna tawhid dan syirk mendasar tersebut, agak naif, jika kemudian penghormatan pada hamba-hamba Allah yg shalih-,ditafsirkan sebagai suatu perbuatan syirik.

ANTARA PENGHORMATAN DAN PENYEMBAHAN

Hormat terhadap Ulama dan Awliya Allah, perlulah kita bedakan antara "penghormatan" dengan "penyembahan atau pengabdian", antara "respect" dengan "worship". Seluruh Muslim tahu bahwa Atribut ketuhanan atau "Lordship" atau "Uluhiyyah" hanyalah milik Allah 'Azza wa Jalla. Tapi kita dapat dan bahkan diwajibkan dalam Islam untuk memberi penghormatan pada sesama makhluk Allah dalam level yang berbeda-beda, sesuai dengan sebab yang ditentukan Allah SWT.Untuk memperjelasnya insya Allah, akan kita beberkan beberapa dalil nash shahih di bawah. Namun sebelumnya, izinkan saya memberikan sedikit ilustrasi.

Ketika, misalnya, saya diundang oleh tiga orang berbeda. Sebut saja misalnya 1) adik angkatan saya ("yunior") si Fulan, 2) Pak Abdullah yang relatif sebaya (kolega) saya, dan 3) Prof. X, yang adalah supervisor kerja saya.Jelas, dalam memenuhi undangan mereka masing-masing, tidak dapat saya perlakukan secara sama. Kepada si Fulan, yang notabene adalah yunior saya, mungkin saya cukup memenuhi adab (etika) standar, misalnya berpakaian menutup aurat, datang tepat waktu, sekalipun nyaris terlambat, atau malah boleh terlambat, asalkan saya menelponnya lebih dahulu.Terhadap Pak Abdullah, yang relatif sepantar dan sebaya, saya harus tingkatkan adab saya. Selain, adab standar, saya harus berusaha tepat waktu, menjaga perasaan beliau agar tidak tersinggung, dll.

Kemudian untuk memenuhi undangan Prof. X (misal saat saya baru kenal dengan beliau), saya lebih mesti berhati-hati. Saya mesti menyiapkan jas, pakai dasi kalau perlu. Persiapkan apa yang mesti dibicarakan. Datang lebih awal. Lebih baik kita yang menunggu daripada ditunggu, dll. Apalagi, kalau yang mengundang adalah perdana menteri Belanda misalnya. Wah, tentu harus lebih awal dan penuh kehati-hatian dalam persiapannya.Demikian pula perlakuan yang mesti kita berikan pada orang tua kandung kita, guru, dengan orang yang lebih tua yang baru kita temui di jalan.

Jelas masing-masing ada beda adab. Terhadap orang tua kita cium tangannya, jangan membantah, dll. Terhadap guru kita taati nasihatnya dan berlaku sopan (bahkan hormat terhadap guru yg kafir pun adalah ajaran Islam). Adapun terhadap orang yang lebih tua yang biasa, kita bisa pakai adab hormat yang standar.Demikian sekedar ilustrasi.

ADAB HORMAT TERHADAP ULAMA DAN AWLIYA: TINJAUAN NAQL

Adapun adab hormat terhadap Ulama atau Awliya Allah ini yang perlu diingatkan kembali. Sebetulnya dengan membaca ilustrasi dan contoh di atas, adalah wajar jika kita menaruh hormat pada para 'ulama atau awliya Allah ini mengingat kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah. Berikut saya kemukakan beberapa dalil:

1. dalam suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (5:323), dan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1:122), dan ia menyatakannya shahih, dan ini disetujui oleh Imam Al-Dhahabi,
Nabi SallAllahu 'alayhi wasallam bersabda:"Man lam yuwaqqir kabirana wa lam yarham saghirana fa laysa minna."
"Barangsiapa tidak menaruh hormat pada orang yang lebih tua di antara kami atau tidak mengasihi yang lebih muda, tidaklah termasuk golongan kami". Ini yang disebut "tawqir an-Naas", menghormati manusia lain, dan mesti disesuaikan dengan status manusia tersebut, khususnya di mata Allah.

2. Dalam hadits lain ; "anzilu al-nasa manazilahum". "Berikan pada manusia sesuai dengan status/kedudukan mereka" diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Introduksi di kitab Shahihnya, tanpa sanad, Sakhawi mengatakan dalam al-Jawahir ad-Durar bahwa hadits ini hasan, dan al-Hakim dalam kitab Ma'rifat ulum al-Hadits mengatakan bahwa hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Ibn Khuzayma.

Jelas tidak mungkin menyamakan semua orang, termasuk dalam penghormatannya. Penyamaan penghormatan akan mirip dengan paham Komunisme. Islam tidak mengajarkan demikian. Karena itu adalah wajar, jika misalnya, dalam suatu sesi salat Jumat, saya datang lebih awal, agar dapat membersihkan tempat salat misalnya semata karena khatib salat Jumat yang akan datang lain dari biasanya, atau datang lebih awal agar dpt lebih khusyu' mendengar khutbah dari sang khatib yang lain dari biasanya.

3. Allah juga memerintahkan "wa la tansaw al-fadla baynakum" (2:237)"Jangan kau lupakan kelebihan/kehormatan di antara kamu"

4. "inna akramakum `indallahi atqakum" (49:13)"Yang paling mulia di sisimu adalah yang paling taqwa di antaramu"
Jelas, kalau kita lihat ada seseorang yang mesti kita hormati karenataqwa-nya kepada Allah, ya, kita mesti menghormati dia sesuai dengan kehormatan yang Allah karuniakan padanya seperti tersebut dalam ayat ini.Dalam suatu hadits Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam lainnya.

5. "Al-Ulama-u waratsatul Anbiya" "Ulama adalah pewaris Nabi", diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya sebagai mu'allaq, dan juga oleh Ahmad (5:196), diriwayatkan pula oleh Tirmidhi, Darimi, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn Majah, Bayhaqidalam kitabnya Syu'abul Iman ("Cabang-cabang Iman), dan juga oleh lainnya. Sudah sepantasnya kita menghormati mereka dengan penghormatan setinggi-tingginya .

Surat Al-Ahzab: 56

0 komentar

Perintah Bershalawat kepada Nabi saw dan Keluarganya

Allah swt berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىّ‏ِ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)

Ulama dari kalangan mazhab Ahlul bait (as) sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (as), yaitu perintah bershalawat kepada mereka dan cara bershalawat. Ulama Ahlussunnah juga sepakat kecuali hanya beberapa penulis.

Cara bershalawat dalam shahih Bukhari, kitab doa, bab bershalawat kepada Nabi saw:
Abdurrahman bin Abi Layli berkata: Ka’b bin Ujrah menemui aku lalu berkata: Tidakkah kamu diberi hadiah? Nabi saw datang kepada kami, lalu kami berkata: Ya Rasulallah, engkau telah mengajari kami cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:

اللهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد، كما صلّيت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللّهمّ بارك على محمّد وعلى آل محمّد، كما باركت على إبراهيم إنك حميد مجيد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Dalam Shahih Bukhari, kitab tafsir, bab ayat ini : Abu Said Al-Khudri berkata, kami berkata: Ya Rasulallah, ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: kalian ucapkan:

اللّهمّ صلّ على محمّد عبدك ورسولك كما صلّيت على آل إبراهيم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim.

Shahih Muslim, kitab shalawat kepada Nabi saw sesudah tasyahhud:
Abu Mas’ud Al-Anshari berkata: Rasulullah saw pernah mendatangi kami ketika kami berada di majlis Sa’d bin Ubadah. Kemudian Basyir bin Sa’d berkata kepadanya: Allah Azza wa Jalla memerintahkan pada kami agar bershalawat kepadamu ya Rasulallah, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Lalu beliau diam sepertinya beliau menghendaki kami tidak bertanya tentang hal itu. Kemudian beliau bersabda: Kalian ucapkan:

اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على آل إبراهم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميدٌ مجيد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi keluarga Ibrahim di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Sunan An-Nasa’i 1/190, bab 52, hadis ke 1289:Musa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata: kami berkata, ya Rasulallah, bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:

اللّهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia; berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Sunan An-Nasa’i 1: 190, bab 52, hadis ke 1291:
Musa bin Thalhah berkata, aku bertanya kepada Zaid bin Kharijah, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: Bershalawatlah kalian kepadaku dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, dan kalian ucapkan:

اللّهم صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.

Shahih Ibnu Majah 65, kitab shalat, bab shalawat kepada Nabi saw, hadis ke 906:
Abdullah bin Mas’ud berkata: Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah saw, hendaknya kalian memperbaiki shalawat kepadanya, karena kalian tidak tahu kalau shalawat itu hukumnya wajib. Lalu dikatakan kepadanya: ajarkan kepada kami (tentang cara bershalawat). Ia berkata: kalian ucapkan:


اللهم اجعل صلاتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين. اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

Ya Allah, curahkan shalawat-Mu, rahmat-Mu dan keberkahan-Mu kepada penghulu para Rasul. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Fathul Bari 13: 441, kitab doa, bab 32, hadis ke 6358:
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang shalawat ini, pada hari kiamat aku akan menjadi saksi baginya dan memberi syafaat padanya:

اللهم صل على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وترحم على محمّد وعلى آل محمّد كما ترحمت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sayangi Ibrahim dan keluarga Ibrahim.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi'i) meriwayatkan dalam Musnadnya:
Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:

اللّهم صل على محمد وآل محمد كما صليت على ابراهيم وبارك على محمد وآل محمد كما باركت على ابراهيم وآل ابراهيم، ثم تسلمون علي

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim; kemudian ucapkan salam kepadaku. (Musnad, jilid 2, halaman 97).

Ash-Shawa’iqul Muhriqah, hlm 144:
Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Ka’b bin Ujrah berkata: ketika ayat ini turun kami bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tapi bagaimana cara bershalawat kepadamu. Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:

اللّهم صل على محمد وآل محمد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Kemudian beliau bersabda: Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang batra’ (puntung). Lalu para sahabat bertanya: Apa shalawat yang batra’ itu. Beliau menjawab: Kalian hanya mengucapkan:

اللّهم صل على محمد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi, hendaknya kalian mengucapkan:

اللّهم صل على محمد وآل محمد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.

Dalam tafsirnya Al-Qurthubi menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini adalah keharusan menyertakan Ahlul bait ketika bershalawat kepada Nabi saw. (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an 14: 233 dan 234).

Ibnul Arabi Al-Andalusi Al-Maliki juga menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Nabi saw dan keluarganya yang suci (as). (Ahkamul Qur’an 2: 84).

Jabir (ra) berkata: Sekiranya kamu melakukan shalat dan tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat shalatnya diterima. (Dzakhairul Uqba:19).

Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dalam Asy-Syifa’, dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Al-Ghadir 2: 303).

Ibnu Hajar mengatakatan: Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Ash-Shawaiqul Muhriqah: 139).

Ar-Razi mengatakan: Doa untuk keluarga Nabi saw menunjukkan keagungan kedudukan mereka, karena doa ini ditempatkan di akhir Tasyahhud dalam shalat, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad, warham Muhammadan wa âla Muhammad (Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad). Pengagungan ini tidak akan didapatkan pada selain keluarga Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa mencintai keluarga Muhammad adalah wajib. Keagungan kedudukan Ahlul bait Nabi saw terdapat dalam lima hal: Tasyahhud dalam shalat, salam, kesucian, diharamkannya sedekah bagi mereka, dan kewajiban mencintai mereka. (Tafsir Ar-Razi 7: 391).

Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat dalam:

1. Shahih Bukhari, jilid 6, halaman 12.

2. Asbabun Nuzul, Al-Wahidi, halaman 271.

3. Ma’alim At-Tanzil, Al-Baghawi, catatan pinggir Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 225.

4. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 148.

5. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 25, halaman 226.

6. Al-Hafizh Abu Na’im Al-Isfahani, Akhbar Isfahan, jilid 1, halaman 131.

7. Al-Hafizh Abu Bakar Al-Khathib, Tarikh Baghdad, jilid 6, halaman 216.

8. Ibnu Abd Al-Birr Al-Andalusi, Tajrid At-Tamhid, halaman 185.

9. Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Al-Alusi, jilid 22, halaman 32.

10. Dzakhairul Uqba, Muhibuddin Ath-Thabari, halaman 19.

11. Riyadhush Shalihin, An-Nawawi, halaman 455.

12. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, halaman 506.

13. Tafsir Ath-Thabari, jilid 22, halaman 27.

14. Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 226.

15. Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuthi, jilid 5, halaman 215.

16. Fathul Qadir, Asy-Syaukani, jilid 4, halaman 293.


Shalat tidak akan diterima tanpa shalawat, riwayat yang menerangkan ini terdapat dalam Sunan Al-Baihaqi 2: 379, kitab shalat, bab 471, hadis 3968, sebagai berikut : Abu Mas’ud berkata: Sekiranya aku melakukan shalat tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak sempurna.

Dalam Sunan Ad-Daruquthni 136, kitab shalat, bab kewajiban shalawat dalam tasyahhud, hadits ke 6: Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasululah saw bersabda:

من صلى صلاة لم يصل فيها عليّ ولا على أهل بيتي لم تقبل منه

“Barangsiapa yang melakukan shalat, dan di dalamnya tidak bershalawat kepada ku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.”

Dalam Dzakhair Al-‘Uqba 19, bab Fadhail Ahlul bait (sa):Jabir berkata: Sekiranya aku melakukan shalat, dan di dalamnya aku tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak diterima.

Dalam Syarah Al-Mawahib halaman 7, Imam Syafi’i berkata :

يا آل بيت رسول الله حبكم فرض من الله في القرآن أنزله
كفا كم من عظيم القدر انكم من لم يصل عليكم لا صلاة له

Wahai Ahlul bait Rasulullah,mencintaimu diwajibkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkanCukuplah keagungan kedudukanmuorang yang tidak bershalawat kepadamu (dalam shalatnya)shalatnya tidak sah.

Perkataan Imam Syafi’i tersebut juga terdapat dalam:1. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 323.2. Ash-Shawaiqul Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 88.3. Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn Al-Abshar, Asy-Syablanji, halaman 104, bab 2 manaqib Al-Hasan dan Al-Husayn.

Doa tidak akan diijabah tanpa shalawatDalam Kanzul Ummal 1: 173, pasal 2 Adab Doa : Tidak ada suatupun doa kecuali ada hijab (penghalang) antara doa itu dan Allah sehingga dibacakan shalawat. Ketika shalawat dibacakan, maka robeklah hijab itu dan sampailah doa itu kepada Allah swt. Dan jika tidak dibacakan shalawat, maka kembalilah doa itu.Pernyataan ini diriwayatkan oleh Ad-daylami dari Ali bin Abi Thalib (as).

Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah haaman 88:Ad-Daylami meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

الدعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وأهل بيته ، اللّهم صلِّ على محمّد وآله

“Doa itu akan terhijab sampai dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya, yaitu: Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.”

Dalam Faydh Al-Qadhir 5: 19, hadis ke 6303:Ali bin Abi Thalib (as) berkata:

كل دعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وآل محمّد

“Semua doa akan terhalangi sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”

Al-Haitsami mengatakan: Tokoh-tokoh hadis tersebut dapat dipercaya.Al-Muttaqi Al-Hindi juga menyebutkan dalam kitabnya Kanzul Ummal 1/314, mengutip dari Ubaidillah bin Abi Hafsh Al-‘Aysyi. Abdul Qadir Ar-Rahawi menyebutkan dalam Al-Arbain, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam Syu’b Al-Iman.

Dalam Faydh Al-Qadir 3: 543: Abu Syaikh meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata :

الدعاء محجوب عن الله حتى يصلّى على محمّد وأهل بيته

“Doa itu akan terhijabi dari Allah sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya.”

Hadis ini juga diriwayatkan Al-Baihaqi dari Asy-Sya’b, At-Tirmidzi dari Ibnu Umar.

Dalam Kanzul Ummal 1: 181:Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): Jika disedihkan oleh suatu persoalan, maka bacalah:

اللّهم احرسني بعينك التي لا تنام، واكنفني بكنفك الذي لا يرام. أسألك أن تُصلّي على محمّد وعلى آل محمّد، وبك أدرأ في نحور الأعداء والجبابرة

“Ya Allah, jagalah daku dengan mata-Mu yang tak pernah tidur, dan jagalah daku dengan benteng-Mu yang tak pernah hancur. Aku bermohon pada-Mu sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dengan-Mu aku berlindung dari permusuhan musuh-musuhku dan orang-orang yang sombong.”

Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as) adalah keluarga Nabi sawDalam Musnad Ahmad 6: 324, hadis ke 26206:Ummu Salam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah (as): “Bawalah kepadaku suamimu dan kedua anakmu.” Kemudian Fatimah (as) bersama mereka datang kepada Nabi saw. Lalu beliau memayungi mereka dengan kain kisa’ dan meletakkan tangannya pada mereka, lalu bersabda:

اللّهم إن هؤلاء آل محمّد ، فاجعل صلواتك وبركاتك على محمّد وعلى آل محمّد إنّك حميد مجيد

“Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad, curahkan shalawat-Mu dan keberkahan-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”Ummu Salamah berkata: Kemudian aku mengangkat kain kisa’ itu untuk berkumpul bersama mereka, kemudian Nabi saw menarik kain kisa’ itu (melarang masuk ke dalam kain kisa’) dan bersabda: “Engkau adalah orang yang baik.”

Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 147, kitab ma’rifah Shahabah:Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berkata: Ketika Rasulullah saw melihat rahmat Allah turun, beliau bersabda: “Datangkan padaku, datangkan padaku.” Shafiyah bertanya: Siapa yang Rasulallah? Beliau menjawab: “Ahlul baitku, yaitu Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn.” Lalu mereka datang kepada Nabi saw, kemudian beliau memayungi mereka dengan kain kisa’, kemudian berdoa dengan mengangkat tangannya:

اللّهمّ هؤلاء آلي ، فصلِّ على محمّد وعلى آل محمّد

“Ya Allah, mereka adalah keluargaku, curahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Kemudian Allah Azza wa jalla menurunkan surat Al-Ahzab: 33.Al-Hakim mengatakan hadis ini shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.

Hadis ini dan yang semakna juga terdapat dalam :

1. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 7 halaman 103, bab Fadhail Ahlul bait, hadis ke 37629.

2. Musykil Al-Atsar, Ath-Thahawi, jilid 1 halaman 334.

3. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.

4. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 296.

5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 167, bab keutamaan Ahlul bait (as).

Larangan shalawat batra’ (terputus)

Shalawat ba’tra’ adalah shalawat yang tidak menyertakan keluarga Nabi saw dalam bershalawat kepadanya. Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah 87, bab 11:Ibnu Hajar berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat batra’.” Kemudian sahabat bertanya: Apakah shalawat batra’ itu? Nabi saw menjawab: Kalian hanya mengucapkan:

اللّهم صلِّ على محمّد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi hendaknya kalian mengucapkan:

اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد

Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.

Disini terdapat hal yang mengherankan: Mengapa umumnya ummat Islam bershalawat kepada Nabi saw dengan shalawat batra’ yaitu Shallallahu ‘alayhi wa sallam (semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Muhammad). Padahal para ulama dan para imam ahli hadis dari Ahlussunnah telah meriwayatkan hadis-hadis bahwa doa itu tidak diijabah tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, shalat tidak diterima tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, cara bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan hadis-hadis bahwa Nabi saw melarang bershalawat dengan shalawat batra’ (yang terputus).

Surat Al-Baqarah ayat 37 - Nabi Adam (as) bertawasul dengan hak Rasulullah saw dan Ahlulbait

0 komentar

Allah swt berfirman:

فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya,”
(Qur'an surah al Baqarah ayat 37)

Jalaluddin As-Suyuthi dalam tafsirnya Ad-Durrul Mantsur ketika menafsirkan ayat ini, mengatakan: Ibn Abbas pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang “Kalimat-kalimat yang diterima oleh Adam dari Tuhannya lalu Dia menerima taubatnya”.

Rasulullah saw bersabda: “Adam memohon kepada Allah dengan hak Muhammad, Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husein (sa), kemudian Allah menerima taubatnya.” (Kanzul Ummal 1: 234).

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang firman Allah “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya “(Al-Baqara: 36).

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menurunkan Adam di India, Hawa’ di Jeddah, Iblis di Misan, dan ular di Ashbahan, ular itu berkaki seperti kaki onta. Adam tinggal di India selama seratus tahun menangisi kesalahannya sehingga Allah mengutus Jibril kepadanya dan berfirman: “Wahai Adam, bukankah Aku menciptakanmu dengan tangan-Ku? Bukankah Aku meniupkan ruh-Ku ke dalam dirimu? Bukankah para malaikat-Ku telah sujud kepadamu? Bukankah Aku telah menjadikan Hawa sebagai isterimu? Adam menjawab: Semua itu benar. Kemudian Allah swt bertanya: Mengapa kamu menangis? Adam menjawab: Bagaimana aku tidak menangis sementara aku dikeluarkan dari sisi Yang Maha Pengasih. Kemudian Allah swt berfirman: “Hendaknya kamu bertaubat dengan kalimat-kalimat ini, sesungguhnya Allah akan menerima taubatmu dan mengampuni dosamu. Ucapkan olehmu:

اللّهم إني أسالك بحق محمّد وآل محمّد، سبُحانك لا إله إلاّ أنت، عملت سوءاً وظلمت نفسي، فتب عليّ إنك أنت التواب الرحيم،
اللّهم إني أسألك بحق محمّد وآل محمّد، عملت سوءاً وظلمتُ نفسي فتُب عليّ إنك أنت التواب الرحيم

Ya Allah, aku memohon pada-Mu dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad. Maha Suci Engkau tiada Tuhan kecuali Engkau, aku telah melakukan kesalahan dan menzalimi diriku, maka terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Menyayangi. Ya Allah, aku memohon pada-Mu dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, aku telah melakukan kesalahan dan menzalimi diriku, maka terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima taubat dan Maha Menyayangi.
Kemudian Rasulullah saw bersabda: “kalimat-kalimat inilah yang diterima oleh Adam.”
(Kanzul ‘Ummal 1: 234, hadis ke 4237)

Hadis tersebut dengan segala macam redaksinya juga terdapat di dalam kitab:
1. Manaqib Ali bin Abi Thalib, Al-Maghazili Asy-Syafi’i, halaman 63, hadis ke 89.
2. Yanabi’ul Mawaddah, Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 97 dan 239, cet. Islambul; halaman 111, 112, 283, cet. Al-haidariyah.
3. Muntakhab kanzul ‘Ummal, Al-Muntaqi Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hambal, jld 1, hlm 419.
4. Al-Ghadir, Al-Amini, jilid 7, halaman 300.
5. Ihqaqul Haqq, At-Tustari, jilid 3, halaman 76.


Posted by Syamsuri Rifai